“Hukum adat dan hukum positif seharusnya selaras dan sejalan. Jika ada putusan adat terlebih dahulu hukum harus menguatkan putusan ada tersebut atau paling tidak jangan membatalkan keputusan adat setempat, begitulah seharusnya konsep hukum di wilayah yang menjunjung tinggi adat dan budaya dayak di Kalimantan Tengah.
Selain itu hukum adat berlaku di daerah itu sendiri serta ditaati dan dipatuhi oleh masyarakatnya.
“Dalam keputusan PN Hakim membatalkan hukum adat, Hakim lalai tidak melihat Perda Kalteng tingkat 1 Nomor 16/DPRD-GR/1969 16 September 1969 serta buku panduan penerapan hukum adat yang memuat 96 pasal sebagai salah satu kesepakatan rapat besar damai Tumbang Anoi tahun 1894. Ada sebuah peribahasa untuk yang berbunyi “dimana tanah diinjak di situlah bumi dijunjung”,”
Dikatakan lagi, keputusan yang sudah dikeluarkannya terhadap pembatalan keputusan Damang adat Kecamatan Tualan Hulu oleh Pengadilan Negeri Sampit bisa berakibat fatal.
“Kepastian hukum adat dan kedamaian masyarakat Kalteng khususnya Kotim, ini sudah membuat resah dengan keputusan hakim tersebut dan apabila keputusan PN Sampit kepada PT HAL ini tidak dianulir maka akan ada preseden buruk yang akan terjadi,” ungkap tokoh dayak
Ditambahkannya lagi Keputusan Hukum positif PN Negeri Sampit ini jangan sampai menjadi hal yang tidak diinginkan sehingga menjadi Tidak Kondusif Kotim ini.
“Apakah hal ini yang diharapkan oleh Ketua Pengadilan Negeri Sampit. Masyarakat mengharapkan agar hakim pengadilan negeri Sampit dalam memutuskan perkara yang bersinggungan dengan masalah hukum adat hendaknya pelajari dulu buku adat itu dengan detail sehingga nanti keputusannya akan bisa diterima oleh semua pihak,” pungkasnya.